Pancoran - Pendakian kami dimulai dengan doa bersama. Kami terdiri dari tujuh orang, imam, pithon, leon dari KOPA (Kelompok Pecinta Alam Bima), amir dari Wanadri Bima, gofur dari Londa STKIP Bima, dan saya sendiri serta embang dari Lawalata IPB, Bogor.
Gunung Sangiang terpisah dari pulau Sumbawa, gunung ini berada di sebelah utara dari bima, tepatnya di Kecamatan Wera, Kabupaten Dati II Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk mencapainya, kami harus menyebrang selama 1,5 jam dengan menggunakan perahu sewa. Karena kondisi lautnya merupakan pertemuaan antara dua arus sehingga saat menyebrang sering bergelombang tinggi. Namun, kali ini Sanghyang berpihak pada kami. Kami dapat menyebrang laut dengan lancar dan tenang. Walaupun kami sudah bersiap diri, memegang erat pegangan disekitar kami dan membawa air dari awal perjalanan sebagai pelampung untuk berjaga-jaga jika perahu karam. Sesampai di bibir pantai pulau Sangiang, kami tidak dapat langsung mendaki. Karena hari sudah sore, dua tenda kami dirikan untuk bermalam disini.
Jam 9 pagi kami mulai berkemas, dirijen-dirijen kosong kami isi dengan air 5 liter yang terasa payau. Minimal masing-masing dari kami membawa air sebanyak itu karena kondisi gunung yang tak ada air dari pos pertama hingga puncak nanti.
Sangiang berasal dari kata Sanghyang yang dalam bahasa kejawen artinya sang maha pencipta, semoga sang maha pencipta melindungi kami dalam pendakian ini hingga sampai puncak.
Kerongkongan terasa kering, mulut terus meminta minum. Matahari terik dan posisi kami masih 10 meter dari pinggir pantai membuat tubuh ini cepat merasa dehidrasi. Beberapa kali, saya meminta menyedot selang hidropack yang dibawa oleh embang. Kondisi medan yang terbuka tanpa ditutupi tajuk pohon, terus kami rasakan hingga sampai pos pertama kami. Kami seperti menelusuri jalan sungai yang berbatu namun kering. Beberapa kali kami harus menanjak secara perlahan karena jalan yang berbatu tanpa tanah membuat kaki ini sulit berpijak dengan baik. Barang bawaan yang cukup berat juga membuat tubuh kami akan lebih terasa lelah selain karena kondisi medan. Dua jam sudah kami tempuh hingga sampai pada pos pertama.
Pos pertama ditandai dengan tebing 90 derajat dimana kami harus memanjat terlebih dahulu dan carier-carier yang kami bawa harus di estapet satu per satu karena tidak memungkinkan untuk kami bawa sambil memanjat. Pada pendakian biasanya, pos pertama tidak ada sumber air. Namun, beruntungnya kami yang mendaki pada musim hujan seperti sekarang ini, sehingga pos pertama dapat kami temukan air hingga pos tiga nanti. Air yang kami peroleh tidak melalui sumber air secara langsung, namun dengan membuat cerukan terlebih dahulu yang dikira dekat dengan serapan air sehingga air akan terkumpul pada satu titik.
Medan ke pos dua tidak jauh berbeda, namun teriknya matahari tidak begitu terasa dibandingkan ke pos pertama tadi karena banyak ditutupi oleh tajuk pohon. Jalur sedikit menanjak dan terasa seperti terus menelusuri sungai yang berbatu-batu. Beberapa kali jalur yang akan kami lalui tertutupi oleh tebing setinggi kurang lebih 6 meter dan curam sehingga tidak memungkinkan kami untuk memanjat. Kami lalui dengan memipir jalur disampingnya dan kembali pada jalur pendakian.
Dua jam sudah kami tempuh dengan jalan santai, pos 2 menjadi pos terakhir kami untuk hari kedua pendakian ini. GPS menunjukkan basecamp pertama kami berada diketinggian 438 mdpl sehingga udara yang dirasakan tidak terlalu dingin. Tiga tenda cukup muat didirikan di pos 2, pos ini cukup luas jika ingin, masih dapat didirikan hingga 5 tenda lagi.
“Leadernya imam, leon, sama gofur. Penyapu saya sendiri karena hari ini medannya lebih berat, harus buka jalur, biasanya cepat tertutup oleh ilalang setinggi dua meter” ucap pithon ketika brifieng sebelum kami melanjutkan pendakian ke pos 3.
Kami mulai berkemas-kemas jam 9 pagi. Dirijen sudah terisi penuh kembali karena masih bisa kami temukan air di pos 2 ini. Leader pertama leon kemudian disusul gofur dan imam sebagai pembuka jalur, lalu saya, embang, amir, dan terakhir pithon. Tak sampai 10 menit berjalan di hari ketiga pendakian ini, kami sudah dibentengi ilalang setinggi kurang lebih dua meter. Leon, gofur, dan imam sudah bersiap dengan sarung tangannya dan memegang parang ditangan masing-masing, terkadang amir harus menyusul ke depan untuk mempercepat pembukaan jalur. Hari ini matahari cukup terik, ketinggian masih kurang lebih 500 mdpl membuat kondisi medan menjadi sangat terasa panas. Ilalang setinggi atas kepala membuat tubuh lebih terasa panas lagi. Kerongkongan cepat terasa kering, beberapa kali kami terus meneguk air untuk membasahkan kerongkongan ini. Belum lagi kaki dan tangan yang tidak ditutupi kain terus terasa gatal karena gesekan daun ilalang. Mata pun sering tertusuk ujung daun ilalang sehingga tim leader harus siap menggunakan kacamata yang memang sudah disiapkan untuk antisipasi.
Ilalang-ilalang ini membuat mata kami sulit melihat punggungan yang ingin kami tuju, pithon harus berkenan naik ke atas pohon sebagai pengarah untuk tim leader agar tidak melenceng pada jalur yang seharusnya. Hampir satu jam sudah kami menelusuri ilalang yang harus ditebas, sesampai di atas punggungan kami menelusuri ilalang yang hanya setinggi paha. Tiupan angin cukup terasa membuat tubuh ini tersegarkan kembali. Setelah setengah jam mengikuti punggungan, kami kembali pada jalur sungai berbatu. Letak pos 3 ada diantaranya, hanya naik setinggi 300 meter dari pos 2 kami akhirnya sampai pada pos 3. Pos 3 sudah tidak nyaman jadi tempat makan siang kami, kondisinya sudah tertutupi oleh tanah yang longsor dan tepat di depan jalur tertutupi tebing setinggi 3 meter yang sulit untuk dinaiki. Lagi-lagi kami harus memipir pinggiran tebing dan naik lagi sekitar 3 meter untuk mencari tempat nyaman bagi makan siang kami.
Istirahat siang ini tidak selama seperti biasanya, kami segera mengakhiri makan siang untuk melanjutkan ke pos 4. Bergegas packing dan mengisi dirijen kembali hingga penuh karena pos 3 menjadi sumber air terakhir.
Embang dan amir melewati sirotol mustakim (Ft: Imam)
Jalur dipenuhi oleh batu-batu kecil berdiameter kurang lebih 10 cm. Jalur merupakan jalan lava bekas Sangiang meletus pada tahun 2000-an. Jalur yang sangat terbuka membuat pendakian terasa panas kembali. Saya terus terusan meminta selang hydropack untuk menghilangkan rasa haus ini. Tapakan kaki semakin lama semakin terasa sakit karena sudah hampir satu jam lebih kami harus menapaki batu-batu. Jelang setengah jam kemudian, kami melewati jalur sirotol mustakim, sebutan jalur bagi teman-teman Kopa. Jalur ini memang pantas dengan namanya, jalur diapit oleh jurang berpasir dengan kemiringan 40 derajat yang rentan dengan kelongsoran. Jika sedikit saja angin datang, batu-batu kecil dengan cepat jatuh dari atas. Kami harus selalu siaga melihat kanan kiri kalau-kalau ada batu yang jatuh dan terus berjalan cepat. Batu-batu yang berjatuhan hanya sebesar bola bekel namun jatuh dengan kecepatan tinggi dapat membuat telinga kuping berdarah, seperti yang diceritakan pithon ketika temannya terkena.
Setelah melewati sirotol mustakim, urat-urat ketegangan mulai kendor kembali. Hari sudah semakin gelap, jalan kami harus segera dipercepat, berharap di pos 4 tak sampai malam hari. Kami harus menelusuri jalur sungai kembali dimana batu-batu lebih terlihat besar-besar. Jalur terhenti ketika kami harus berpindah punggungan, hari sudah gelap, bulan malam ini cukup terang mengiringi jalan kami. Kami terus memipiri bukit dengan rumput setinggi betis hingga sampai pada aliran sungai kembali. Pos 4 ada diantara sungai ini, kami sampai setelah 4 jam berjalan dari pos 3. Pos 4 cukup mendirikan tiga tenda untuk kami bermalam dan bersiap summit attack nanti malam.
“Pendakian kami hanya untuk menyempurnakan kesederhanaan diri dan kerendahan hati kawan”
Snack, air, sleeping bag, jaket sudah siap di dalam dua daypack terpisah. Dan tubuh kami sudah siap untuk mendaki di udara yang dingin pada jam ditangan yang menunjukkan pukul 4 dini hari. Komposisi yang sama, imam, leon, gofur sebagai leader, dilanjutkan saya, embang, amir, dan pithon sebagai penutup. Tak lupa kami berdoa bersama sebelum kaki ini melangkah ke puncak.
Udara dini hari yang masih dingin membuat celana kami basah oleh rumput-rumput yang ber-embum. Kami terus menelusurinya dengan menaiki bukit hingga 45 menit pertama kami berjalan. Selanjutnya, jalur mulai berbatu lepas tanpa ditumbuhi apapun sehingga batu-batu yang menjadi pijakan kami cepat rapuh dan longsor. Kami harus berjalan secara sejajar karena batu-batu yang jatuh akibat pijakan didepannya akan mudah mengenai dibelakangnya. Jalur yang sudah pada kemiringan 45 derajat ini membuat kami harus berpijak dengan baik, tangan sudah mulai diperdayagunakan. Satu setengah jam sudah akhirnya kami sampai pada puncak punggungan, yang terdapat kawah aktif pada sisi utaranya. GPS menunjukkan pada ketinggian 1649 mdpl dan jam 05.30 WITA. Sekitar 200 meter lagi, kami sampai pada puncak Sangiang. Di atas punggungan ini, kami menunggu sunrise datang untuk mempermudah kami saat melanjutkan ke puncak nanti karena sudah cukup terang.
Saya menuruni punggungan melewati kawah mati menuju puncak (Ft:Embang)
Pantulan sunrise membuat langit menjadi berwarna orange pekat, dengan embulan asap belerang membuat suasana disini begitu mempesona. Namun, tak ada kata yang sebenarnya bisa saya gambarkan saat ini. Seperti enggan beranjak, kami melanjutkan pendakian yang tinggal satu jam lagi. Kami menuruni punggungan kembali ke arah timur dan melewati kawah kedua yaitu kawah mati, dan terus naik dengan medan yang masih berbatu-batu. Namun, kali ini batu tidak serapuh sebelumnya karena berdiameter lebih besar sehingga pijakan kaki kami lebih kuat dan lebih mempercepat jalan kami. Angin terasa lebih kecang bercampur dengan asap belerang, kamera saya pun jadi cepat berembum, cepat-cepat saya simpan dalam tas walaupun sebenarnya enggan meninggalkan momen hunting seperti sekarang ini.
Hampir 4 jam sudah kami berjalan di hari keempat pendakian ini, dan akhirnya………………. kami sampai pada puncak Sangiang dengan ketinggian 1949 mdpl. Tak lupa kata syukur dalam hati dan kami saling berjabat tangan untuk kesuksesan pendakian ini walaupun masih ada rintangan turun nantinya.
Batu tanda puncak Sangiang (Ft:Imam)
Puncak Sangiang ditandai dengan batu besar yang terlihat runcing dibagian atasnya jika dilihat dari kejauhan, dengan tinggi batu kira-kira 3 meter. Luasnya cukup membuat kami ber tujuh tidak leluasa bergerak kesana kemari, kami harus berhati-hati karena samping kanan kiri kami jurang yang dalam. Mata ini diputarkan pemandangan hingga 360 derajat, pulau Sumbawa nampak terlihat dari sini, kawah-kawah aktif disekitar puncak juga melengkapi keindahan. Asap belerang yang tertiup angin membuat kawah nampak seperti asap bongkahan es dalam freezer eskrim.
“Akhirnya kutukan kami terlepas juga, biasanya kami kalo mengantar tamu luar Bima ga pernah sampai puncak, pasti ada aja rintangan. Baru kamu.. cita dan embang, kami antar bisa sampai puncak Sangiang” ucap pithon kepada kami berdua dengan muka senang.
“Dan kamu..cita..perempuan pertama luar Bima yang sampai puncak Sangiang”
“Pendakian paling caru” kata yang selalu terucap dari pithon, imam, dan leon. Caru dalam bahasa Bima yang artinya asyik, enak, mantap
_cita_
Penulis @Citra Ariani |
0 komentar :
Posting Komentar